Al-FaSya
Al-FaSya
Admin
Halo 👋
Ada yang bisa dibantu?

Menuntut Tidak Harus Ikhlas


Dalam memulai mencari ilmu, niat tidak harus tertata dengan ikhlas sebab sangat sulit mencapai tingkatan mukhlisin apalagi bagi pemula. Bila pada awalnys ada terbersit tujuan untuk mencari pangkat derajat, kemulyaan, sanjungan, dan urusan duniawi lainnya akan menyertai niat tersebut, maka sementara biarkan saja dan tetap meneruskan usaha mencari ilmu.

Seperti halnya ibadah lainnya, sedekah misalnya, bila kita menunggu sampai benar-benar ikhlas, maka kita akan selalu menunda-nunda untuk sedekah dengan alasan belum ikhlas. 

Saudaraku, kita bisa mengambil hikmah dari kisah Al Ghozali bersaudara; Muhammad bin Muhammd al-Ghozali (Imam Al-Ghazali) dan saudaranya, Ahmad bin Muhammad. Mereka berdua adalah anak dari seorang penenun kain yang hasil tenunannya tersebut dijual di pasar kota Thus. Kehidupan keduanya dibiayai oleh ayahnya dari hasil pekerjaan tersebut.

Sebelum meninggal sang ayah berwasiat kepada salah seorang temannya yang merupakan seorang sufi dan ahli khair.

"Aku sangat ingin sekali pandai tulis-menulis dan aku sangat ingin memenuhi apa yang tidak bisa kulakukan untuk kedua anakku, maka semua harta yang aku tinggalkan adalah untuk mendidik mereka berdua, tidak untuk Anda."

Setelah sang ayah meninggal keduanya pun dididik oleh sufi tersebut sampai harta peninggalan ayah mereka berdua habis untuk membiayai mereka berdua, dan sufi teman ayah mereka tidak mampu membiayai mereka. Sang sufi kemudian berkata pada mereka:

"Kalian berdua, ketahuilah bahwa aku telah menggunakan seluruh peninggalan ayah kalian untuk kalian berdua dan aku adalah seorang faqir ahli tajrid sehingga tidak bisa membiayai kalian berdua, menurutku jalan terbaik adalah kalian mengungsi ke madrasah solah-olah kalian adalah pelajar yang ingin mencari ilmu di sana sehingga kalian bisa mendapatkan makanan."

Lantas Al Ghozali bersaudara melaksanakan nasihat sufi teman ayah mereka tersebut, mereka pun masuk di Madrasah Nidzamiyah yang saat itu dipimpin Imam al Haromain. Sampai akhirnya mereka menjadi orang yang alim allamah yang menjadi lentera dunia.


Madrasah Nidzamiyah merupakan Madrasah yang didirikan oleh al Hasan bin Ali bin Ishaq (408-485 H). Beliau belajar ilmu Adab Arobiah dan mendengarkan banya Hadits, beliau bekerja di pemerintahan selama 20 tahun sebage seorang perdana menteri dengan bergelar Qowamuddin Nidzom Mulk. Ibnu Aqil mengatakan "Tahun-tahun kehidupan beliau adai tahun kekuasaan ahli ilmu." Az Zarkali, al Alam. Vol. II. hal. 202.



Mengisahkan latar belakangnya tersebut al Ghozali berkata:

طلبنا العلم لغير الله فأبى أن يكون إلا لله

"Aku mencari ilmu bukan karena Allah, namun akhirnya ilmu hanya hanya berkenan karena Allah."
(Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghozzali dalam Kitab Ihya' Ulumiddin, Maktabah Darul Kutub al Islami, Beirut. hal. 4)

Artinya, keikhlasan akan muncul dengan sendirinya terbawa oleh terangnya cahaya ilmu yang beliau peroleh. Niat atau tujuan yang pada awalnya untuk hal duniawi bisa dijadikan sebagai bahan bakar semangat untuk mengumpulkan ilmu sebanyak-banyaknya dan mencapai target atau tingkatan tertentu yang dicita-citakan.

Kisah antara KH Bisri Musthofa dengan teman karibnya kiyai Ali Maksium.

Kiyai Bisri terkenal dengan gaya humorisnya yang mengalir bagaikan air sehingga orang yang dikritik oleh beliau pun tidak akan marah karena disampaikan secara sopan dan menyegarkan, bahkan orang tersebut bisa dibuatnya terpingkal-pingkal dengan humor-humornya.

Beliau terkenal sangat produktif dalam menulis, tidak lebih dari seratus judul yang dihasilkan dari tangan emasnya. Kemampuan beliau ini ternyata membuat silau atau kepincut teman karibnya Kyai Ali Maksum, Krapyak.

Dalam sebuah kesempatan keduanya terlibat dalam perbincangan yang unik. "Kalau soal alim barangkali saya tidak kalah dari sampeyan. Bahkan saya lebih alim," kata Kyai Ali Maksum dengan nada bercanda, "tapi mengapa sampeyan bisa begitu produktif, sementara saya selalu gagal di tengah jalan?"

"Sampeyan menulisnya lillahi ta'ala, sih!" jawab kiyai Bisri sambil tersenyum, artinya kiyai Ali Maksum kalau ngarang buku atau kitab niatnya ikhlas, makanya tidak pernah selasai.

Jawaban nyeleneh kiyai Bisri tersebut tentu saja membuat kiyai Ali Maksum bertanya-tanya. "Lho Kyai nulis kok tidak lillahi ta'ala, lalu dengan niat apa?" kiyai Maksum balik bertanya

"Saya menulis dengan niat nyambut gawe (bekerja), sama seperti penjahit. Penjahit itu meskipun ada tamu tidak akan berhenti menjahit, priuknya bisa ngguling (artinya pekerjaannya bisa terhalau). Saya juga begitu. Kalau sebelumnya sampeyan sudah berniat yang mulia-mulia, setan akan mengganggu dan pekerjaam (menulis) sampeyan tak akan selesai. Baru nanti kalau tulisannya sudah jadi dan akan diserahkan pada penerbit kita niati yang mulia-mulia, linasyril ilmi (untuk menyebarkan ilmu) atau apa. Setan juga perlu kita tipu." ujar Kyai Bisri sambil tersenyum.

Berbagi

Posting Komentar