Dalam banyak dalil Al-Qur'an dan hadits menganjurkan kita untuk menjaga diri
dari Su'udzon. Namun ada kondisi tertentu yang mengharuskan kita bersuudzon
untuk menjaga dan melindungi keselamatan diri. Salah satunya tertuang dalam
sebuah hadits dari kitab Mukhtarul Ahadits susunan Sayyid Ahmad Al-Hasyimi
berikut ini:
“Jagalah diri kalian (waspadalah) terhadap manusia dengan su'udzan.”
(HR.Thobroni dalam kitab Al-Awsath, Ahmad dan Baihaqi dalam kitab
Mukhtarul Ahadits)
Adalah sebuah himbauan kepada kita agar kita bersikap waspada terhadap
manusia (yakni dari keburukannya) dengan su'udzan. Demikianlah yang
disampaikan oleh
Muthorrif bin Abbdillah as Syikhir
yang merupakan pembesar Tabi'in Basrah, dan merupakan seorang perawi
hadits nabawi.
Dalam kitab Faydhul Qadir ada yang menyatakan: " ولا تَثِقُوا
بِكُلِّ أحَدٍ، فإنَّهُ أسلَمُ لَكُم " -
Janganlah kamu percaya dengan semua orang, karena itu lebih
menyelamatkan bagimu.
Ibnu Asakir menambahkan dalil atas hal ini dengan sebuah khobar dari Ibnu
Abbas r.a yang berupa hadits marfu':
مَن حَسَّنَ ظَنَّهُ بالنَّاسِ كَثُرَت نَدَامَتُهُ
“Barang siapa berprasangka baik kepada seluruh manusia, maka banyak
merasakan penyesalan.”
Mu'awiyah pernah bertanya kepada Abid Syibrimah yang berumur 200 tahun, “Apa
saja yang telah engkau saksikan?” Ia menjawab, “Aku telah menemui banyak
manusia, dan semua dari mereka berkata, 'Manusia (yang baik) telah pergi.”
Ada pula yang mengatakan, “Tidak tersisa dari manusia kecuali
seperti anjing yang menggonggong atau seperti keledai yang meringkik maka
waspadailah keduanya.”
Sebagian ulama terdahulu pernah berkata,
“Kalau dunia ini dipenuhi hewan buas dan ular berbisa, aku tidak merasa
khawatir. Akan tetapi kalau di dunia ini tersisa satu manusia saja, maka aku
akan lebih mengkhawatirkannya.”
Dalam pepatah Arab dikatakan:
رب زائر يراوحك ويغاديك وهو ممن يكادحك ويعاديك
Betapa banyak peziarah yang datang padamu dan menghiburmu, padahal dia
adalah termasuk orang-orang yang menipumu dan memusuhimu.
Apakah Hadits di atas tadi bertentangan dengan hadits berikut?
Artinya: “Dari Abu Hurairah ia berkata telah bersabda Rasululloh.”
Jauhkanlah dirikamu daripada sangka (jahat) karena sangka (jahat)
itu sedusta-dusta pembicaraan(hati).”
Artinya: “Jauhilah sifat berprasangka karena sifat berprasangka itu
adalah sedusta-dusta pembicaraan. Dan janganlah kamu mencari
kesalahan, memata-matai,janganlah kamu berdengki-dengkian,
janganlah kamu belakang-membelakangi danjanganlah kamu
benci-bencian. Dan hendaklah kamu semua wahai hamba-hamba
Allahbersaudara.”
(HR. Bukhori).
Hadits احْتَرِسُوا مِن النَّاسِ بِسُوءِ الظَّنِّ sama sekali tidak bertentangan dengan hadits-hadits tersebut,
dikarenakan hadits tersebut memang sesuai penempatannya yakni terhadap orang
yang bagus sikap prilakunya dan juga amanah. Sedangkan hadits tentang
su'udzan kepada manusia itu ditujukan terhadap orang yang tampak jelas
memiliki sikap prilaku buruk seperti; menipu, pembuat makar, pengingkar
janji, khiyanat, dan lain sebagainya.
Batasan Orang yang Boleh Kita Su'udzan Terhadapnya
Sudah lazim bahwa sebuah hadit pastinya ditempatkan dalam porsi yang sesuai
dan sepantasnya, karena kebaikan yang tidak diletakkan pada tempatnya pun
berakibat tidak baik pula. Sebagaimana obat yang dikonsumsi sesuai dosis dan
penyakitnya. Tidak semua penyakit bisa sembuh dengan satu obat yang sama,
dan akan sangat berbahaya bila melebihi dosis yang ditunjukkan dokter.
Mengenai hal ini, dalam kitab Faydhul Qadir diterangkan bahwa asas praduga
itu mengunggulkan/mendominasi terhadap salah satu dari dua sisi (baik dan
buruk). Oleh karenanya, batasan sikap kita terhadap hal ini adalah dengan
melihat sisi yang mendominasi sifat dan prilaku seseorang.
Orang yang sudah jelas memiliki qarinah/indikasi keburukan yang mendominasi
dalam prilakunya maka diperkenankan bagi kita untuk memberlakukan sikap
waspada terhadapnya dengan su'udzan untuk menjaga diri kita dari terjadinya
hal-hal/perbuatan yang tidak diinginkan. Sepeti yang sudah dijelaskan tadi
di atas, bahwa hadits ini ditujukan kepada orang yang jelas-jelas memiliki
karakter prilaku buruk seperti; menipu, pembuat makar, khiyanat, dsb.
Begitu pula berlaku hukum sebaliknya; yakni orang yang jelas memiliki
dominasi kebaikan dalam kepribadiannya maka kita diharuskan berhusnudzan
terhadapnya.
Dari Hadits ini kita belajar hendaknya kita mewaspadai kejahatan manusia
dengan cara bersuudzon kepada mereka. Dan janganlah kita mudah mempercayai
semua orang, sebab itu lebih selamat bagi kita. Kita dianjurkan untuk
bersikap waspada kepada orang yang biasa berbuat buruk/jahat. Sebab
husnudzon kepada orang yang selalu berbuat kejahatan itu adalah termasuk hal
yang sering membuat penyesalan di kemudian hari.
“Seorang mukmin tidak akan tersengat dari lubang hewan yang sama dua
kali.”
(HR Bukhari)
Al Khathabi mengatakan:
Makna hadits ini adalah hendaknya seorang mukmin menjadi orang yang waspada
baik dalam urusan dunia maupun agama, jangan sampai ia lalai sehingga
tertipu berkali-kali oleh orang yang sama. Dalam hadits lain dikatakan:
الْمُؤْمِن كَيِّس حَذِر
“Seorang mukmin itu cerdas dan waspada.” (HR Dailami)
Diceritakan dalam perang Badar, Nabi Muhammad SAW menawan Abu Azzah al
Jumahi yang kemudian memohon untuk dibebaskan karena memiliki keluarga yang
dikhawatirkan tidak terawat kalau ia mati. Maka Nabi Muhammad SAW pun
membebaskannya tanpa tebusan. Lalu pada perang Uhud, Abu Azza kembali
tertawan, dan dengan alasan yang sama seperti sebelumnya ia pun meminta agar
dibebaskan. Maka Nabi Muhammad SAW pun menjawab:
Jangan sampai nanti engkau mengusap janggutmu di Makkah sambil berkata,
“Aku telah menipu Muhammad dua kali.”
Maka Nabi SAW pun memerintahkan agar ia dihukum mati. Ibnu Hisyam
mengatakan, ketika itulah Nabi SAW mengucapkan sabdanya yang terkenal,
“Seorang mukmin tidak akan tersengat dari lubang hewan yang sama dua
kali.”
Ini menunjukkan bahwa husnudzon kepada seorang penipu
bukanlah sikap yang tepat. Kepada orang yang demikian, hendaklah kita
bersikap waspada. Husnudzon kepada orang yang tidak tepat itulah yang sering
membuahkan penyesalan di kemudian hari, sebagaimana khabar riwayat Imam
Ibnu `Asakir dari Sayidina Ibnu Abbas ra, yang sudah kami tampilkan di atas
"من حسن ظنه بالناس كثرت ندامته"
Kalau kita mau memahami, ini juga merupakan peringatan agar kita tidak
lalai dan tidak gampang terbujuk terhadap manusia lainnya yang penuh tipu
daya. Karena itu, sudah seharusnya bagi seorang muslim pandai menggunakan
kecerdasannya dalam memahami situasi dan memahami penempatan sesuatu
sesuai tempatnya.
Kita harus berhusnudzon kepada orang yang baik dan bersifat amanah.
Sedangkan kepada orang yang jahat, buruk sifatnya dan munafik hendaklah kita
bersikap waspada. Demikianlah seharusnya sikap seorang muslim, ia harus
cerdas dalam memahami situasi dan kondisi, sehingga ia bisa mengambil sikap,
tahu kapan harus berhusnudzon dan kapan harus su'udzon (waspada).
وَاللهُ أعْلَمُ بِالصَّوَاب
___________________________________
Referensi:
Mukhtarul Ahadits Annabawiyyah, Nomor hadits 44
Kitab Faydhul Qadir, Nomor hadits 231
[احترسوا من الناس] أي من شرارهم
[بسوء الظن]
أي تحفظوا منهم تحفظ من أساء الظن بهم كذا قاله مطرف التابعي
الكبير وقيلأراد لا تثقوا بكل أحد فإنه أسلم لكمويدل عليه خبر ابن عساكر عن ابن عباس رضي الله تعالى عنهما
مرفوعا من حسن ظنه بالناس كثرت ندامته وقال معاوية لعبيد بن شبرمة وقد أتت عليه مائتا سنة ما
شاهدت؟ قال أدركت الناس وهم يقولون ذهب الناس وقيل ما بقي من الناس إلا كلب نابح أو حمار رامح فاحذروهما وقال بعضهم لو أن الدنيا ملئت سباعا وحيات ما خفتها فلو بقي إنسان واحد
لخفته ومن أمثالهم: رب زائر يراوحك ويغاديك وهو ممن يكادحك
ويعاديك
: وما أحسن قول الصولي
لو قيل لي خذ أمانا. . . من أعظم الحدثان
لما أخذت أمانا. . . إلا من الخلان
.ولا يعارض هذا خبر إياكم وسوء الظن لأنه فيمن تحقق حسن
سريرته وأمانته
والأول فيمن ظهر منه الخداع والمكر وخلف الوعد والخيانة والقرينة
تغلب أحد الطرفين
فمن ظهرت عليه قرينة سوء يستعمل معه سوء الظن وخلافه خلافه. وفي أشعاره تحذير من التغفل وإشارة إلى استعمال الفطنة فإن كل
إنسان لا بد له من عدو بل أعداء يأخذ حذره منهم قال بعض العارفين
هذه حالة كل موجود لا بد له من عدو وصديق بل هذه حالة سارية في
الحق والخلق قال الله تعالى {يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا عدوي
وعدوكم أولياء} فهم عبيده وهم أعداؤه فكيف حال العبيد بعضهم مع
بعض بما فيهم من التنافس والتباغض والتحاسد والتحاقد؟
(طس عد)
وكذا العسكري في الأمثال كلهم (عن أنس) قال الهيتمي تفرد به بقية
بن الوليد وهو مدلس وبقية رجاله ثقات انتهى. وقال المؤلف في
الكبير حسن وهو ممنوع فقد قال ابن حجر في الفتح خرجه الطبراني في
الأوسط من طريق أنس وهو من رواية بقية بالعنعنة عن معاوية بن
يحيى وهو ضعيف فله علتان التابعي وصح منه قول مطرف أخرجه مسدد
فيض القدير شرح الجامع الصغير - المناوي - ج ١ - الصفحة ٢٣٥