“Manusia yang paling keras azabnya pada hari kiamat adalah orang
yang menggambar.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Apakah yang dimaksud dengan gambar dalam hadits tersebut? Apakah poto termasuk gambar yang dimaksud dalam hadits
tersebut?
Berikut ini kami tampilkan penjelasan para ulama:
Pendapat Syekh Ibnu ‘Utsaimin:
أما التصوير الحديث الآن الذي يسلط فيه الإنسان آلة على جسم معين
فينطبا هذا الجسم في الورقة فهذا في الحقيقة ليس تصويراً، لأن التصوير مصدر صور أي: جعل الشيء على صورة معينة، وهذا
الذي التقطه بهذه الآلة لم يجعله على صورة معينة، الصورة المعينة هو بنعسه يخطط، يخطط العينين والأنف
والشعتين، وما أشبه ذلك.
Adapun gambar modern zaman sekarang; seseorang menggunakan alat untuk
mengambil gambar objek tertentu, lalu kemudian gambar tersebut
terbentuk di kertas, maka itu sebenarnya bukanlah
makna tashwir, karena kata tashwir adalah
bentuk mashdar dari kata shawwara,
artinya: menjadikan sesuatu dalam bentuk tertentu. Sedangkan gambar
yang diambil dengan alat tidak menjadikannya dalam bentuk sesuatu.
Gambar berbentuk adalah gambar yang dibentuk, bentuk kedua mata,
hidung, dua bibir dan sejenisnya. (Syekh Ibnu Utsaimin, Liqa’ al-Bab al-Maftuh, juz.XIX, hal.72.)
Beliau melanjutkan lagi:
إنسان مثلاً يلقي الآلة يوجهها إلى شيء تصور، هذا ليس بتصوير في
الواقا؛ لأن الإنسان ما خطط؛ لا خطط العيون ولا الأنف ولا العم ولا شيئا من هذا، هذه الآلة وجهها إلى أي شيء
تلتقطه، والحديث: )أشد الناس عذابا يوم القيامة المصورون الذين يضاهئون بخلق الله( ولهذا ذهب كثيرٌ من السلف إلى أن المحرم
هو الصورة المجسمة والتي يصنعها الإنسان بيده وتكون جسما وقالوا: بأن هذا هو الذي يكون فيه المضاهاة، أما هذا فهو
مجرد لون، ولهذا جاء في حديث زيد بن خالد : )إلا رقما في ثوب(. لكني أرى: أن التصوير باليد سواء رقما في ثوب، أو
بعجينة تصنعها على شكل حيوان، نرى أنه حرام، أما التقاط الصورة بالآلة العوتوغرافية فلا، ليست تصويراً أصلاً.
الدليل: اكتب لي كتابا بقلمك ثم أدخله أنا بالآلة المصورة،
هل أكون أنا الذي كتبت الحروف هذه أم لا؟ تنسب الكتابة إليك ولا شك،
وليس لي، ولذلك تجد الإنسان الأعمى يستطيا أن يصور، وكذلك الكتاب، لكن يبقى النظر إذا صور لغرض، ما هذا الغرض؟
إذا كان غرضا صحيحا مثل: الرخصة، أو تابعية، أو جواز، أو إثبات شيء، فهذا لا بأس به، أما إذا كان لمجرد الذكرى وأن
يكون الإنسان كلما حنَّ إلى صديقه ذهب ينظر إلى هذه الصورة فهذا لا يجوز؛ لأن هذا مما يجدد تعلق القلب بغير الله عز
وجل، ولاسيما إذا مات وصار يرجا إلى هذه الصور يتذكرها فإنه سوف يزداد حزنا إلى حزنه
Misalnya seseorang memakai suatu alat (kamera) yang ia arahkan ke
suatu objek, lalu ia ambil gambar, sebenarnya ini bukanlah
makna tashwir, karena manusia adalah sesuatu yang
bergaris/berbentuk, sedangkan pada gambar itu tidak ada garis/bentuk
mata, tidak ada garis hidung, tidak ada garis mulut, tidak satu garis
pun. Alat (kamera) tersebut diarahkan pada suatu objek, lalu alat tersebut menangkap gambar objek tersebut. Dalam
hadits disebutkan, “Manusia yang paling keras azabnya pada hari kiamat adalah orang
yang menggambar; orang-orang yang menandingi penciptaan dengan
penciptaan Allah Swt”. Berdasarkan ini mayoritas kalangan Salaf mengharamkan gambar yang berbentuk, yang dibuat manusia dengan
tangan, memiliki tubuh. Mereka berkata, “Sesungguhnya di dalam bentuk itu
terdapat sikap menandingi penciptaan”. Sedangkan gambar poto hanya sekedar warna. Oleh sebab
itu dalam hadits riwayat Zaid bin Khalid disebutkan, “Kecuali goresan pada kain”. Tetapi menurut saya bahwa gambar yang dibentuk dengan tangan, apakah goresan pada kain atau adonan
yang dibentuk berbentuk makhluk hidup, itu haram. Adapun mengambil
gambar dengan alat potografi, maka tidak haram. Karena pada dasarnya
itu bukan gambar berbentuk. Bukti: tulislah satu tulisan dengan pena
Anda, kemudian saya masukkan tulisan itu dengan kamera, apakah saya
yang menulis tulisan itu? Tulisan itu tetaplah tulisan Anda, tidak
diragukan lagi. Itu bukan tulisan saya. Oleh sebab itu orang buta pun
bisa menggambar, demikian juga menulis. Namun demikian tetap dilihat
tujuan dari poto itu, apa tujuannya? Jika tujuannya benar, misalnya
untuk surat izin kenderaan atau salah satu kelengkapan persyaratan
atau paspor atau untuk menetapkan sesuatu, maka itu boleh. Adapun jika
hanya untuk mengenang sesuatu, misalnya jika seseorang merasa rindu
kepada temannya, lalu ia melihat gambar tersebut, maka itu tidak
boleh, karena itu hanya untuk memperbaharui keterikatan hati dengan
selain Allah Swt, terlebih lagi jika orang tersebut telah meninggal
dunia, lalu ia terus melihat poto tersebut untuk mengenangnya, maka
semakin menambah kesedihan. (Syekh Ibn ‘Utsaimin, Durus wa Fatawa al-Haram al-Madani --Pelajaran dan Fatwa yang disampaikan Syekh Muhammad bin Shalih bin ‘Utsaimin di Madinah pada tahun
1416H--, juz.I, hal.33.)
Pendapat DR.Abdul Wahab bin Nashir ath-Thariri (Dosen Universitas Imam Muhammad Ibnu Sa’ud – Riyadh, Saudi Arabia)
أما التصوير العوتوغرافي فقد اختلف فيه فقهاء العصر بين مجيز ومانا،
ولعل الأقرب أنه غير داخل في التصوير المنهي
عنه؛ لأنه لا ينطبق عليه وصعه، وبينهما من العروق ما لا يخعى على
متأمل، ولذا فالراجح جوازه ؛ لأن معنى المضاهاة فيه
غير موجود، وإنما هو حبس للظل كانعكاس الصورة على المرآة .
ومثل ذلك أيضا التصوير بآلة التصوير العلمي (العيديو)
ويراجا لبسط أكثر كتاب ( أحكام التصوير في العقه الإسلامي ) ل :
محمد بن أحمد علي واصل . والله أعلم
Adapun gambar poto, para ahli Fiqh kontemporer berbeda pendapat dalam
masalah ini antara yang membolehkan dan yang melarang. Pendapat yang
lebih mendekati kebenaran bahwa poto tidak termasuk dalam gambar yang
dilarang, karena tidak sesuai dengan sifat gambar yang dilarang
menurut Islam. Ada perbedaan antara poto dengan apa yang dilarang
dalam Islam, perbedaan itu tidak tersembunyi bagi orang yang berfikir.
Oleh sebab itu, pendapat yang kuat adalah: boleh. Karena makna menandingi penciptaan Allah Swt tidak
terdapat dalam poto. Poto itu hanya sekedar cahaya yang tertahan,
seperti pantulan gambar pada cermin. Sama juga halnya seperti gambar
dengan alat perekam video. Untuk lebih lengkapnya lihat kitab Ahkam at-Tashwir fi al-Fiqh al-Islami karya Muhammad bin Ahmad Ali Washil, wallahu a’lam. (Fatawa wa Istisyarat Islam al-Yaum, juz.XIII, hal. 376.)
Pendapat Lembaga Fatwa Kuwait:
أما تصوير كل ذي روح من إنسان، أو حيوان فهو، إما بحبس الظل كما في
التصوير العوتوغرافي، والتلعزيوني فهو جائز
على الأرجح من آراء العقهاء المعاصرين لأنه كالصور التي تعكسها
المرآه ونحوها
Adapun gambar semua yang bernyawa; manusia atau hewan, dengan cara
menahan cahaya, seperti pada poto dan video, maka itu boleh, menurut
pendapat yang paling kuat diantara pendapat para ahli Fiqh
kontemporer, karena semua itu sama seperti gambar yang dipantulkan
kaca cermin dan sejenisnya. (Fatawa Qitha’ al-Ifta’ Kuwait, juz.IV, hal. 256.)
Pendapat Al-‘Allamah Syekh Muhammad Bakhyat Al-Muthi’i (w.1354H) (Mantan Mufti Mesir) dan Syekh DR.Yusuf al-Qaradhawi (Ketua Ikatan Ulama
Dunia):
Kata [ التصوير ] (tashwir) dan kata [ النحت ] (naht).
Siapa yang tidak memperhatikan dua istilah ini secara tepat, maka
akan terjerumus dalam banyak kekeliruan, seperti yang kita lihat pada
zaman kita sekarang ini.
Misalnya kata [التصوير ] (tashwir) yang terdapat dalam banyak hadits shahih yang
disepakati keshahihannya, apakah yang dimaksud dengan makna kata
[التصوير ] (tashwir) tersebut? yang mereka itu diancam dengan ancaman
yang sangat keras.
Banyak diantara mereka yang menyibukkan diri dengan hadits dan fiqh
memasukkan ke dalam ancaman ini orang-orang yang pada zaman ini
disebut sebagai photographer; orang yang menggunakan alat yang disebut
dengan kamera, kemudian mengambil gambar dengan alat tersebut, dan
alat tersebut disebut [صورة ] (shurah).
Apakah penamaan ini; orang yang mengambil gambar disebut [مصور ] (mushawwir) dan perbuatannya disebut [التصوير ] (tashwir) apakah ini hanya sekedar penggunaan bahasa
saja?
Tidak seorang pun dari bangsa Arab ketika membuat
kata tashwir terlintas di hati mereka tentang ini.
Oleh sebab itu, penamaan ini hanyalah penamaan secara bahasa
semata.
Tidak seorang pun menyatakan bahwa penamaan ini penamaan syar’i,
Karena seni potografi belum dikenal pada masa turunnya syariat Islam, tidak tergambar
bagaimana digunakan kata mushawwir untuk orang yang
mengambil gambar, karena potografi masih belum ada wujudnya.
Lantas siapa yang menyebut potografer
itu mushawwir [مصور ]? Dan siapa yang pula yang menyebut perbuatannya mengambil poto itu
disebut tashwir [التصوير ]?
Itu adalah ‘urf (tradisi) moderen. Kita, atau kakek kita yang pada masa mereka poto
ini muncul, lalu mereka menggunakan
istilah tashwir untuk poto.
Padahal bisa saja jika mereka menyebutnya dengan nama lain, bisa saja
disebut عكس (‘aks), dan orang yang melakukannya disebut عكاس ‘ukkas, sebagaimana yang dipakai orang-orang Qathar dan Teluk Arab. Jika salah seorang mereka pergi ke tukang poto, ia
akan mengatakan, “
[ اريد أن تعكسني متى آخذ منك العكوس؟ ] “Saya ingin Anda mengambil poto saya, kapan saya bisa
mengambil hasil poto saya?”. Bahasa yang mereka gunakan ini lebih mendekati kebenaran. Karena poto itu
tidak lebih dari pantulan gambar dengan alat tertentu, sebagaimana
pantulan gambar pada cermin. Itu yang disebutkan al-‘Allamah Syekh Muhammad Bakhyat al-Muthi’i Mufti Mesir pada zamannya dalam kitabnya berjudul al-Kafi fi Ibahat at-Tashwir al-Futughrafi.
Poto di zaman kita sekarang ini disebut tashwir.
Sedangkan tashwir al-mujassam (gambar berbentuk/tiga
dimensi) disebut naht. Ini yang disebut ulama Salaf dengan
istilah: ما له ظل
(yang memiliki bayang-bayang). Jenis inilah yang mereka sepakati
haramnya, kecuali permainan anak-anak.
Apakah penamaan naht ini mengeluarkannya dari apa
yang disebutkan dalam nash-nash dengan ancaman
untuk tashwir dan mushawwirin?
Jawabannya, tentu tidak. Karena gambar berbentuk seperti inilah yang
sesuai disebut dengan tashwir secara bahasa dan
istilah syar’i. karena gambar berbentuklah yang menandingi penciptaan seperti
penciptaan yang dilakukan Allah Swt. Karena penciptaan yang dilakukan
Allah Swt adalah pembentukan makhluk yang berbentuk, sebagaimana yang
disebutkan dalam hadits Qudsi,
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِي
“Siapa yang lebih zhalim daripada orang yang menciptakan (sesuatu)
seperti penciptaan yang Aku lakukan?!”. (HR. al-Bukhari)